Respons Agresivitas China, Akademisi Imbau ASEAN Tingkatkan Persatuan
loading...

Seminar berjudul China dan Keamanan Maritim Regional: Pandangan dari Asia Tenggara digelar di Jakarta, Senin (19/5/2025). Foto: Ist
A
A
A
JAKARTA - Akademisi dan pengamat menilai Kawasan Asia Tenggara saat ini berada dalam keadaan genting. Berbeda dengan masa yang lampau, kawasan Asia Tenggara tepatnya wilayah Laut China Selatan (LCS) kini menjadi tempat kekuatan-kekuatan besar dunia saling berhadapan sehingga meningkatkan ketegangan Kawasan.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menuturkan agresivitas China dalam sekitar 15 tahun terakhir ini menjadi salah satu faktor yang berkontribusi bagi terciptanya ketegangan di atas.
Baca juga: Infrastruktur China di Asia Tenggara Makin Mencengkeram, Jebakan atau Peluang?
“Pada masa lalu, sejak zaman Deng Xiaoping hingga pemerintahan Hu Jintao, meski sudah memupuk kekuatan, China mempertahankan sikap low profile dan berupaya menyembunyikan kekuatannya. Meski terjadi ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara seperti konflik dengan Vietnam tahun 1974 dan 1988, serta ketegangan dengan Filipina di tahun 1995, namun ketegangan saat itu tidak meningkat seperti saat ini,” ujar Johanes saat seminar berjudul “China dan Keamanan Maritim Regional: Pandangan dari Asia Tenggara” di Jakarta, Senin, (19/5/2025).
Menurut pemerhati China yang juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, sejak 2012 China terlihat semakin memperlihatkan kekuatannya. Bahkan aktif melakukan apa yang oleh para ahli disebut sebagai aktivitas zona abu-abu (greyzone) yaitu memobilisasi unsur-unsur maritim sipil dengan didukung unsur Penjaga Pantai China dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat untuk beraktivitas di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara Asia Tenggara.
Beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia, pernah mengalami hal serupa yaitu menjadi sasaran dari aktivitas pelanggaran hak berdaulat oleh China.
Apa yang dilakukan China dengan berdasar pada 10 garis putus-putus yang hanya dilandasi sebagai “hak sejarah” yang sebenarnya tidak sah berdasarkan hukum laut internasional yaitu UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea).
Merespons hal di atas, Johanes beranggapan bahwa negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang tergabung dalam Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) perlu meningkatkan persatuan dan kemampuan dalam menghadapi sikap agresif China.
Peningkatan persatuan itu penting karena menurut Ristian Atriandi Supriyanto, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, negara-negara ASEAN justru sedang terbelah dalam menghadapi perilaku agresif China.
“Sebagian dari negara-negara ASEAN mengambil pendekatan lunak karena merasa lemah menghadapi China atau merasa China terlalu penting, terutama secara ekonomi,” kata Ristian.
Akademisi yang baru saja menyelesaikan disertasi doktor di Australian National University itu khawatir bila terdapat anggapan di kalangan elite pemerintah negara-negara ASEAN bahwa perundingan dan pengakuan terhadap klaim China merupakan pengorbanan yang cukup kecil karena kerja sama dengan China dianggap memberi lebih banyak keuntungan.
Kapusjianmar Seskoal Laksamana Pertama (Laksma) TNI Salim juga sepakat dengan pandangan bahwa Asia Tenggara saat ini sedang menghadapi tantangan yang muncul dari adanya rivalitas dua kekuatan besar dunia.
Menurut perwira tinggi TNI AL itu, negara-negara kawasan Asia Tenggara harus berupaya menghadirkan stabilitas dan kedamaian kawasan antara lain dengan menggalakkan dialog dan diplomasi maritim untuk menemukan solusi bagi sengketa-sengketa maritim regional.
Dia juga menekankan pentingnya penyelesaian dokumen kode perilaku (Code of Conduct) di LCS dan pembuatan aturan pencegahan tabrakan di laut di kawasan Indo-Pasifik (Indo-Pacific Prevention Collision at Sea atau IPCS).
Bagi Laksma Salim, kesatuan ASEAN merupakan salah satu kunci dalam menemukan solusi bagi tantangan yang sedang dihadapi kawasan Asia Tenggara di atas. “ASEAN harus memperkuat kekuatan tawar (bargaining power) dalam berhadapan baik dengan China maupun Amerika Serikat, serta mengadopsi diplomasi aktif berdasarkan hukum internasional,” tuturnya.
Salim menilai negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kemampuan maritimnya melalui berbagai kerja sama regional. Pada saat yang sama, dia mengimbau agar China mempromosikan resolusi sengketa berdasarkan kerja sama yang bersifat menang-menang (win-win), menghormati hukum internasional, meningkatkan transparansi aktivitasnya di LCS, dan mengurangi tindakan militer yang provokatif yang berpotensi memunculkan ketegangan.
Diplomat Madya Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Dino R Kusnadi menyampaikan bahwa dalam konteks hubungan Indonesia China, diplomasi menjadi salah satu ujung tombak dalam membangun jembatan agar dapat terjadi proses peredaan bila terjadi ketegangan.
China telah menjadi salah satu sahabat Indonesia sekaligus sumber investasi teratas bagi Indonesia. Namun, ini bukan berarti Indonesia telah condong atau tergantung pada China.
Menurut dia, tingginya kerja sama ekonomi antara Indonesia dan China adalah fenomena saat ini saja, karena China menjadi salah satu negara yang dapat memberikan apa yang Indonesia butuhkan.
Dalam pandangan Dino, isu yang berlangsung di kawasan maritim Asia Tenggara perlu diselesaikan dengan cara ASEAN.
Dengan demikian, penyelesaian berbagai isu yang ada diharapkan untuk dilakukan sesuai dengan mekanisme ASEAN. Bagi Dino, mekanisme yang berpusat pada sentralitas ASEAN itu harus dilandaskan pada Treaty of Amity and Cooperation (Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama), Deklarasi Code of Conducy (COC atau kode etik perilaku) di LCS, serta penyelesaian COC itu sendiri.
Berita baiknya, pada forum keamanan maritim di Manila pada 25 April 2025, Menteri Luar Negeri Filipina telah menyatakan bahwa ASEAN dan Tiongkok berkomitmen secara politik menuntaskan COC yang mengikat secara hukum paling lambat 2026.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menuturkan agresivitas China dalam sekitar 15 tahun terakhir ini menjadi salah satu faktor yang berkontribusi bagi terciptanya ketegangan di atas.
Baca juga: Infrastruktur China di Asia Tenggara Makin Mencengkeram, Jebakan atau Peluang?
“Pada masa lalu, sejak zaman Deng Xiaoping hingga pemerintahan Hu Jintao, meski sudah memupuk kekuatan, China mempertahankan sikap low profile dan berupaya menyembunyikan kekuatannya. Meski terjadi ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara seperti konflik dengan Vietnam tahun 1974 dan 1988, serta ketegangan dengan Filipina di tahun 1995, namun ketegangan saat itu tidak meningkat seperti saat ini,” ujar Johanes saat seminar berjudul “China dan Keamanan Maritim Regional: Pandangan dari Asia Tenggara” di Jakarta, Senin, (19/5/2025).
Menurut pemerhati China yang juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, sejak 2012 China terlihat semakin memperlihatkan kekuatannya. Bahkan aktif melakukan apa yang oleh para ahli disebut sebagai aktivitas zona abu-abu (greyzone) yaitu memobilisasi unsur-unsur maritim sipil dengan didukung unsur Penjaga Pantai China dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat untuk beraktivitas di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara Asia Tenggara.
Beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia, pernah mengalami hal serupa yaitu menjadi sasaran dari aktivitas pelanggaran hak berdaulat oleh China.
Apa yang dilakukan China dengan berdasar pada 10 garis putus-putus yang hanya dilandasi sebagai “hak sejarah” yang sebenarnya tidak sah berdasarkan hukum laut internasional yaitu UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea).
Merespons hal di atas, Johanes beranggapan bahwa negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang tergabung dalam Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) perlu meningkatkan persatuan dan kemampuan dalam menghadapi sikap agresif China.
Peningkatan persatuan itu penting karena menurut Ristian Atriandi Supriyanto, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, negara-negara ASEAN justru sedang terbelah dalam menghadapi perilaku agresif China.
“Sebagian dari negara-negara ASEAN mengambil pendekatan lunak karena merasa lemah menghadapi China atau merasa China terlalu penting, terutama secara ekonomi,” kata Ristian.
Akademisi yang baru saja menyelesaikan disertasi doktor di Australian National University itu khawatir bila terdapat anggapan di kalangan elite pemerintah negara-negara ASEAN bahwa perundingan dan pengakuan terhadap klaim China merupakan pengorbanan yang cukup kecil karena kerja sama dengan China dianggap memberi lebih banyak keuntungan.
Kapusjianmar Seskoal Laksamana Pertama (Laksma) TNI Salim juga sepakat dengan pandangan bahwa Asia Tenggara saat ini sedang menghadapi tantangan yang muncul dari adanya rivalitas dua kekuatan besar dunia.
Menurut perwira tinggi TNI AL itu, negara-negara kawasan Asia Tenggara harus berupaya menghadirkan stabilitas dan kedamaian kawasan antara lain dengan menggalakkan dialog dan diplomasi maritim untuk menemukan solusi bagi sengketa-sengketa maritim regional.
Dia juga menekankan pentingnya penyelesaian dokumen kode perilaku (Code of Conduct) di LCS dan pembuatan aturan pencegahan tabrakan di laut di kawasan Indo-Pasifik (Indo-Pacific Prevention Collision at Sea atau IPCS).
Bagi Laksma Salim, kesatuan ASEAN merupakan salah satu kunci dalam menemukan solusi bagi tantangan yang sedang dihadapi kawasan Asia Tenggara di atas. “ASEAN harus memperkuat kekuatan tawar (bargaining power) dalam berhadapan baik dengan China maupun Amerika Serikat, serta mengadopsi diplomasi aktif berdasarkan hukum internasional,” tuturnya.
Salim menilai negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kemampuan maritimnya melalui berbagai kerja sama regional. Pada saat yang sama, dia mengimbau agar China mempromosikan resolusi sengketa berdasarkan kerja sama yang bersifat menang-menang (win-win), menghormati hukum internasional, meningkatkan transparansi aktivitasnya di LCS, dan mengurangi tindakan militer yang provokatif yang berpotensi memunculkan ketegangan.
Diplomat Madya Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Dino R Kusnadi menyampaikan bahwa dalam konteks hubungan Indonesia China, diplomasi menjadi salah satu ujung tombak dalam membangun jembatan agar dapat terjadi proses peredaan bila terjadi ketegangan.
China telah menjadi salah satu sahabat Indonesia sekaligus sumber investasi teratas bagi Indonesia. Namun, ini bukan berarti Indonesia telah condong atau tergantung pada China.
Menurut dia, tingginya kerja sama ekonomi antara Indonesia dan China adalah fenomena saat ini saja, karena China menjadi salah satu negara yang dapat memberikan apa yang Indonesia butuhkan.
Dalam pandangan Dino, isu yang berlangsung di kawasan maritim Asia Tenggara perlu diselesaikan dengan cara ASEAN.
Dengan demikian, penyelesaian berbagai isu yang ada diharapkan untuk dilakukan sesuai dengan mekanisme ASEAN. Bagi Dino, mekanisme yang berpusat pada sentralitas ASEAN itu harus dilandaskan pada Treaty of Amity and Cooperation (Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama), Deklarasi Code of Conducy (COC atau kode etik perilaku) di LCS, serta penyelesaian COC itu sendiri.
Berita baiknya, pada forum keamanan maritim di Manila pada 25 April 2025, Menteri Luar Negeri Filipina telah menyatakan bahwa ASEAN dan Tiongkok berkomitmen secara politik menuntaskan COC yang mengikat secara hukum paling lambat 2026.
(jon)
Lihat Juga :