Bawaslu dan MK Diminta Usut Modus Baru di PSU Pilkada Bengkulu Selatan
loading...

Pengamat politik Yusak Farchan menyoroti modus baru yang dilakukan untuk mendegradasi kontestan lain yang terjadi dalam Pemunguatan Suara Ulang (PSU) Pilkada Bengkulu Selatan pada 19 April 2025. FOTO/DOK.SindoNews
A
A
A
JAKARTA - Pengamat politik Yusak Farchan menyoroti modus baru yang dilakukan untuk mendegradasi kontestan lain yang terjadi dalam Pemunguatan Suara Ulang (PSU) Pilkada Bengkulu Selatan pada 19 April 2025. Modus baru itu berupa rekayasa penangkapan terhadap calon wakil bupati (cawabup) nomor 2 Ii Sumirat oleh kelompok massa yang diduga terafiliasi dengan rival.
Yusak menilai modus baru itu lebih parah dari politik uang dan masuk dalam kategori kejahatan besar dengan dampak luar biasa. "Politik uang bersifat transaksional antara paslon atau timses dengan pemilih, jadi tidak ada unsur kekerasan di situ, malah sukarela. Sementara yang terjadi di Bengkulu Selatan ini operasi kekerasan sekaligus fitnah oleh kubu paslon lain untuk memengaruhi pemilih," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5/2025).
Menurut Yusak, tujuan dari dua jenis kejahatan pilkada tersebut sama, yakni untuk memengaruhi perilaku pemilih. Namun dari segi dampak, modus rekayasa penangkapan seorang calon lebih berbahaya karena mengancam hidup dan kebebasan yang telah dijamin sepenuhnya di dalam konstitusi.
"Kita sepakat bahwa politik uang merusak demokrasi. Tapi kasus ini lebih parah lagi, lebih sadis, karena di samping merusak demokrasi juga mengancam hak asasi," ujarnya.
Yusak meminta Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK) mengusut dan menindak tegas kasus tersebut serta tidak menganggapnya sebatas pelanggaran biasa. Terlebih kasus itu baru pertama terjadi sepanjang sejarah pelaksanaan pilkada di Indonesia, di mana jika dibiarkan berpotensi terulang di kemudian hari.
Yusak menilai modus baru itu lebih parah dari politik uang dan masuk dalam kategori kejahatan besar dengan dampak luar biasa. "Politik uang bersifat transaksional antara paslon atau timses dengan pemilih, jadi tidak ada unsur kekerasan di situ, malah sukarela. Sementara yang terjadi di Bengkulu Selatan ini operasi kekerasan sekaligus fitnah oleh kubu paslon lain untuk memengaruhi pemilih," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5/2025).
Menurut Yusak, tujuan dari dua jenis kejahatan pilkada tersebut sama, yakni untuk memengaruhi perilaku pemilih. Namun dari segi dampak, modus rekayasa penangkapan seorang calon lebih berbahaya karena mengancam hidup dan kebebasan yang telah dijamin sepenuhnya di dalam konstitusi.
"Kita sepakat bahwa politik uang merusak demokrasi. Tapi kasus ini lebih parah lagi, lebih sadis, karena di samping merusak demokrasi juga mengancam hak asasi," ujarnya.
Yusak meminta Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK) mengusut dan menindak tegas kasus tersebut serta tidak menganggapnya sebatas pelanggaran biasa. Terlebih kasus itu baru pertama terjadi sepanjang sejarah pelaksanaan pilkada di Indonesia, di mana jika dibiarkan berpotensi terulang di kemudian hari.
Lihat Juga :